Add caption |
Opini Rudi Fofid-Ambon
Satu kata untuk menggambarkan situasi politik selama Pilpres 2019 ini, penyair Hanafi Holle di Ambon menulis di akun facebook: "Badaki" (berdaki).Laporan media massa dan hiruk-pikuk media sosial memang memaparkan lanskap perilaku politik yang sangat "katagorang". Ya, kita seperti orang sakit keteguran diganggu arwah.
Saya tidak perlu menuliskan situasi "badaki" dan "katagorang" yang setiap detik menyerbu mata dan telinga kita. Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai sebuah bangsa besar?
Terserah, siapa saja boleh bikin apa saja untuk kebaikan bangsa ini, namun karena ini berkenaan dengan jabatan presiden, baiklah perlu suatu lembaga tidak formal. Sebut sajalah Forum Presiden.
Forum presiden adalah sebuah forum silaturahmi para pemimpin bangsa, khusus. Tingkat tinggi. Mereka terdiri dari presiden, wakil presiden, calon presiden, calon wakil presiden, mantan presiden, mantan wakil presiden.
Mana itu ucapan manis di bibir saat pidato: Saudara-saudara sebangsa setanah air? Kita semua bersaudara dalam persaudaraan Indonesia. Itu modal yang membuat bangsa ini masih tetap ada.
Kopi di Indonesia masih berlimpah. Teh Indonesia masih berlimpah. Air goraka, masih berlimpah. Gula tare, masih berlimpah.
Berkumpullah para bapak Indonesia dan ibu Indonesia. Minum kopi dan teh, kupas jeruk kisar, makan pisang ambon, atau apa sajalah. Kucing kesayangan juga boleh. Bawa saja, diplomasi kucing atau diplomasi sambal pete. Mari duduk satu meja. Berceritalah tentang hari-hari kita di republik yang begini-begini saja ini.
``54 persen dan 45 persen, itu angka judi. Kiu!`` Anggap saja, itu semacam basa-basa saat buka percakapan dalam forum presiden.
Kalau tidak bisa duduk sama-sama. lebih baik hapus perbendaharaan kata ``pesta demokrasi``. Hapus saja karena omong kosong. Foya! Pesta adalah sukacita. Pesta model apa penuh ketegangan yang nantinya dilegitimasi: Itu biasa dalam politik. Politik yakis.
Hapus terminologi pesta demokrasi, lalu kembali pada hakikat pilpres sebagai ajang perebutan kekuasaan. Karena perebutan, maka rivalitas, agresivitas, teror, intimidasi, sangat terbuka menjadi metoda. Syukurlah Pimpinan TNI dan Polri sudah beri ketegasan` ``Jangan inkonstitusional!``
Empat tokoh bangsa, menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka manusia, bukan peri. Mereka dengan segenap kurang-kurang dan lebih-lebih, adalah anak sebuah bangsa besar, yang sedang jadi sorotan dunia. Mata dunia mengarah ke Indonesia dengan segenap kejenakaan.
Tim pemenang, semoga tidak terus-menerus menjadi tim sorak, sekaligus hooligans, yang menjerumuskan tokoh-tokoh bangsa ini ke situasi komedi. Peran kocak dan antagonis apa yang membuat kita semua hanyut dalam panggung sandiwara ini?
Ini era terbuka, bebas, sudah begitu liberal medsos. Kabar bohong, saling ejek dan maki oleh elite-elite sudah ditiru segenap kawula milenial. Wajar saja karena mereka saban hari disuguhi pemandangan di dalam genggam, di depan jempol, perilaku yang dipertontonkan tokoh-tokoh lulusan perguruan tinggi luar negeri, dan segenap nama-nama populer dan memuliakan diri.
Mana itu Forum Presiden. Preman dan preman bisa duduk satu lorong dan satu gudang tua, untuk mengakhiri cekcok, para tokoh bangsa tidak bisa? Biarlah Forum Presiden itu terjadi. Terserah, Herr Rudy Habibie, Pak SBY, Mbak Mega, Pak Jusuf Kalla, Pak Boediono, Bung Sandiaga Uno, Pak Prabowo, siapa saja.
Bolehlah pakai sistem tamu dan tandang. Atau terserah saja. Tiap hari bakudapa. Saling curah pikiran, perasaan. Coba saling memahami isi hati dan isi otak masing-masing. Sambil duduk bersama itulah, jangan lupa, ini Indonesia. Indonesia itu bukan sepasang pejantan tanggung yang berebut singgasana. Kami rakyat, berjuta kami masih hidup, belum jadi tulang belulang, antara Merauke sampai Sabang, dan diaspora di luar negeri.
Kalau tidak ada tanda-tanda baik maka sambil menunggu hasil penetapan KPU, lalu semua garuk sana, garuk sini, bangsa yang besar ini sudah berubah menjadi bangsa badut. Mungkin semua ini, buah dari banyaknya acara ketawa-ketiwi banyol-banyol tidak entos-entos, tidak mustahak di layar TV, bully-bully dan genit hastag-hastag di medsos.
Bangsa ini sudah seperti sebuah ruang kelas tidak ada guru, dan anak paling nakal di sekolah berkumpul mempertontonkan perilaku bajingan kecil.
Itu masih jauh lebih ketimbang harus dilukiskan sebagai kandang ayam yang kemasukan sepasang tinggalong lapar, ya musang jantan dan betina, mau numpang kawin dalam kandang sambil makan anak ayam. Heboh. Bising, brisik, pesing politik.
Apakah yang sedang kita alami hari ini adalah kebudayan bangsa hasil pendidikan nasional selama ini? Seperti inikah produk kebudayaan sebuah bangsa yang merdeka?
Kalau Bung Sandiaga Uno bisa berinisiatif mengumpulkan semuanya, alangkah bersejarahnya kaum muda milenial. Kalau Pak Jusuf Kalla atau Pak Habibie berinisiatif, alangkah eloknya Indonesia Timur.
Semoga tanggal 20 April, mengingatkan kita pada tanggal 20 Mei, kebangkitan nasional. Kalau tidak bisa bangkit, lebih baik kita semua jadi fosil, supaya menjadi objek wisata saja.
Semoga semakin hari semakin baik, aman, sentosa, cantik, dan eloklah Indonesia. Sandiwara ini jangan terlalu banyak serial sebab bisa menjadi preseden, dan karakter.
Mari bikin sejarah dengan tangan sendiri, supaya kita tidak disebut bangsa pecundang. Sesama anak bangsa saling menjerumuskan dan menistakan.
Semoga forum presiden itu tidak terwujud, sebab dengan mekanisme lain, semua kekonyolan pasca pesta gila-gilaan ini bisa berakhir dengan elok.
Merdeka!
Mena Muria!
Fanatik Indonesia!
Ambon, 20 April 2019
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post
from Malukupost.com http://bit.ly/2vbs89h
#beritaviral
No comments:
Post a Comment