January 25, 2020

Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran IPA Kelas V Semester 1 Di SDN Warurejo Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning

| January 25, 2020 |
HARTINI, S.Pd.SD
Guru Kelas SDN WARUREJO
Madiun Jawa Timur
MOKI, MADIUN-Paradigma dan Karakter , dua kata yang sama-sama bermakna kuat dan kokoh, dimana kita sangat sulit untuk meluluhkannya hanya dengan sekali tindakan ataupun pendapat, perubahan yang dituntut seiring perkembangan Teknologi membuat kita harus berlari untuk bisa mengejarnya, Cara pandang lama yang sudah direformasi tapi tetap saja berlaku karena sudah mendarah daging itulah yang amat sulit di lepaskan dari mindset bangsa Indonesia. Pandangan dimana jika anak pandai dalam kognitif itu merupakan kebanggaan dari orang tua, kognitif tidak menjamin keberhasilan seseoroang, berulangkali kajian ini di publikkan tetapi sebesar apapun usaha itu tetap saja tidak mampu merubah cara pandang Para Orang Tua yang mempunyai putra-putri di jenjang sekolah.
      Jika kita tidak mampu merubah paradigma yang ada, bagaimana karakter bangsa akan terbentuk dengan baik, yang ada karkater itu akan menjadi sebuah teori-teori yang hanya dilakukan sesaat namun tidak bisa tertanam dalam pribadi-pribadi anak didik kita, Kita memang patut iri dengan Negara jepang, bagaimana orang jepang itu punya disiplin, rasa kebangsaan dan cinta tanah air, pengetahuan yang bagus, itu karena di jepang pada anak usia dini tidak ditanamkan kognitif, melainkan ditanamkan dulu karakter mereka, saat karakter itu sudah menjadi tertanam baru kognitif, karakter lah yang menjadi dasar mereka mengimplementasi kan ilmu pengetahuan, apa yang terjadi di Indonesia berbanding terbalik dengan cara pandang di Indonesia.
      Jika kita berfiikir secara sederhana sebenarnya kita bisa seperti mereka, misalkan pendidikan agama, Pancasila dan bahasa jawa menjadi dasar / landasan pada anak didik kita sebelum menginjak jenjang sekolah, saya ambil contoh jika di Indonesia pada usia dini dari umur 4-9 tahun hanya diberi pendidikan agama, pancasila dengan bahasa jawa sebagai pengantarnya, Pendidikan dasar dalam agama di beri bekal kuat dalam berakhidah, berhubungan dengan Allah sebagai sang pencipta dan manusia, di imbangi dengan nilai-nilai pancasila dimana kita sebagai bangsa yang harus cinta tanah air, menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, rasa toleransi, sebagai bahasa pengantar adalah bahasa jawa di mana dalam bahasa jawa itu tertuang ungah-ungguh terhadap orang tua, terhadap orang yang lebih tua, sebaya dan usia di bawahnya.
      Perjuangan Bapak Pendidikan Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan yang berazaskan kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan (azas-azas Tamansiswa). Lima azas Tamansiswa masih relevan untuk diwujudkan sampai saat ini. Azas kodrat alam mengandung arti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam semesta ini, karena manusia tidak dapat terlepas dari kehendak hukum-hukum kodrat alam.        Sebaliknya, manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia dapat mesra menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan. Penghargaan kita terhadap lingkungan alam semesta, hanya mungkin terwujud jika kita menyadari bahwa alam semesta itu sahabat kita, sehingga kita tidak boleh merusak lingkungan. Azas-azas lainnya (seperti azas kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan) menjadi amat relevan ketika praksis pendidikan nasional semakin tidak memerdekakan subyek didik akibat gempuran kapitalisme global dan ideologi lain dari asing.
      Pendidikan nasional yang seharusnya mampu menumbuhkan masyarakat dan bangsa yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya pada akhirnya justru melahirkan serba tergantung pada bangsa asing, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.                Pelajaran sejarah yang diberikan sejak SD hingga SMTA ternyata tidak mampu menyentuh kesadaran berbangsa pada anak didik. Kenyataan ini perlu menjadi bahan refleksi bersama, terutama menyangkut soal metode pengajarannya. Apakah  pelajaran sejarah yang tidak pas ataukah metode pengajarannya yang tidak menarik?.
      Terkadang memang manusia banyak pengetahuan keilmuan ditandai memiliki banyak referensi, pandai berorasi, dan cakap menulis tetapi kelakuannya belum mencerminkan seorang yang berilmu. sebuah permasalahan ketika ilmu itu hanya sebuah hafalan. Ketika membaca itu hanya membaca sebuah teks tetapi tidak pernah membaca keadaan alam sekitar dan terjun langsung terlibat dalam aktivitas bermasyarakat. Maka ilmu juga sebatas tahu tetapi tidak tahu untuk apa tujuannya ia tahu. Orang menumpuk ilmu tetapi tidak memiliki daya guna ataupun manfaat. Dan itu sangat mungkin terjadi jika terjebak pada dunia hafal-menghafal berorientasi hasil yang terukur dengan skor. Ya, skor tinggi karena pengetahuan tinggi padahal tidak akan menjamin produk tingkah laku. Hakikat pendidikan itu terletak pada perubahan setelah manusia mengenyam pendidikan, hasilnya berupa watak dan karakter yang ukurannya adalah kebermanfaatan bagi orang banyak. Hasilnya setelah bekajar tidak hanya pinter tapi bisa sopan, jujur, sederhana, rendah hati dan bentuk-bentuk kekhasan individu yang lain.
      Bentuk bagaimana ketika orang berilmu tetapi tidak pernah tahu ngelmunya. Ngelmu dapat dimaknai sebagai ajaran Kepribadian untuk bekal hidup menggunakan rasa, batin, dan laku. Dalam memahami ngelmu tidak bisa kita hanya duduk mendengarkan atau sekedar membaca dari sebuah buku seperti halnya memahami ilmu. Ada laku yang harus ditempuh. Dalam masyarakat Jawa laku dikenal dengan adanya proses eneng, ening, eling, dan awas. Eneng itu membuat fisik ini diam. Ening yaitu membuat pikiran dan hati bening terlebih dahulu. Eling berarti dengan penuh kesadaran. Kemudian awas dalam artian berhati-hati. Ini adalah jawaban-jawaban bahwa ilmu yang kita punya itu perlu untuk diketahui ngelmu untuk melaksanakannya. Tidak hanya terjebak dalam ilmu pengetahuan hafalan kemudian menjadi bingung untuk melakukan. Melakukan, mengimplementasikan, menerapkan, mengejawantahkan itu adalah bentuk laku dan laku adalah hakikat dari ngelmu. Seperti pepatah ngelmu iku kelakone kanthi laku. Kiranya kejernihan pikiran dan hati serta bertingkah laku hati-hati selalu waspada harus dipegang dahulu sebelum orang menerima ilmu-ilmu agar ilmu tetap bermanfaat.
      Pendiri Bangsa Saat merumuskan Dasar Negara Memang sudah dikemas sesempurna mungkin agar benar-benar menjadi dasar kepribadian Bangsa Indonesia, jika kita sebagai penerus generasi bangsa dapat mengimplementasi apa yang terkandung dalam dasar Negara itu saya yakin akan terjadi sebuah keseimbangan dalam segala aspek, pendidikan pancasila adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga Negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela Negara, demi kelangsungan kehidupan dan kemajuan bangsa dan Negara.  Fungsi pokok pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia adalah sebagai pandangan hidup, pedoman hidup, dam petunjuk arah bagi semua kegiatan hidup dan penghidupan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai kepribadian Bangsa Indonesia Kepribadian artinya gambaran tentang sikap dan perilaku atau amal perbuatan manusia, yang khas yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain. Ciri khas kepribadian bangsa Indonesia tercermin dalam sila-sila pancasila, yaitu bahwa bangsa Indonesia bangsa yang:
Membicarakan tentang hal-hal yang hakiki atau mendasar adalah upaya memahami hakikat pancasila dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pancasila memiliki keluasan arti filosofis, maka dari pengertian pokok tersebut dapat diberi arti yang bermacam-macam, antara lain sebagai berikut : Pancasila sebagai Dasar Negara, Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, sebagai cita-cita Pancasila dan tujuan bangsa Indonesia. Pendidikan Pancasila mengarah perhatian pada moral yang diharap dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku kebudayaan, dan beraneka ragam kepentingan perilaku yang mendukung kebudayaan, dan beraneka ragam kepentingan perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perorangan dan golongan.

Oleh :
HARTINI, S.Pd.SD
Guru Kelas SDN WARUREJO
Madiun Jawa Timur



from MOKI I Kabar-Investigasi.com https://ift.tt/2ux6UWi
Berita Viral

No comments:

Post a Comment

Back to Top