"Sertifikat yang harus siap tahun ini di Kota Ambon 1.000 lembar dan yang sudah siap ditandatangani sebanyak 983 lembar sertifikat," kata Kepala BPN setempat, Marulak Togatorop, di Ambon, Rabu (1/8).
Kalau Provinsi Maluku secara umum ditargetkan sebanyak 30 ribu lembar sertifikat dan terbesar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat serta Maluku Barat Daya masing-masing 10 ribu lembar sertifikat.
Untuk tahun depan pengukuran tanah di Ambon yang telah diplot sebanyak 5.000 dimana 2.000 untuk sertifikat dengan sistem Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
"Seluruh desa diukur, klasternya terdiri dari klaster satu sampai empat, dimana klaster satu outputnya sertifikat, klaster dua tanah bermasalah, klaster tiga tanah antara yuridis dengan fisik tidak sama oleh pemohon, dan klaster empat adalah sertifikat yang diterbitkan tahun 2016 dipetakan kembali supaya dimasukan dalam peta tunggal," ujar Marulak.
Tujuannya, supaya semua nomor induk bidangnya satu se-Indonesia dengan nama koordinat TN3.
"Jadi rekan-rekan media bisa komunikasi dengan masyarakat agar sertifikat tahun 2016 ke bawah bisa berkordinasi atau buka di 'playstore google' dan nama programnya 'Sentuh Tanahku', masukan email anda dan sandinya bisa petakan sertifikat sendiri," kata Marulak.
Kalau tidak, maka masukan laporan ke BPN nanti dipetakan karena klaster empat nanti, NIB secara nasional keluar seperti NIK (nomor induk kependudukan), dan kalau sudah keluar maka tidak bisa keluar lagi NIB atas nama orang lain.
Bila terjadi tumpang tindih sebagian atau utuh setengah maka komputer akan menolak walau pun dikeluarkan surat keterangan dari desa atau lurah kepada seseorang.
"Langkah ini guna mengantisipasi terjadinya tumpang tindih maka sekarang lagi digalakan klaster empat sehingga memetakan kembali sertifikat-sertifikat terdahulu dari 2016 ke bawah dengan biaya negara," katanya.
Dikatakan, seharusnsya di Kota Ambon digalakan dahulu pemetaannya dan seluruh rukun tetangga diminta memetakan lingkungannya milik siapa karena kelihatan kosong tapi sebenarnya sudah terpetakan secara nasional.
BPN sudah mengundang dua desa di Kota Ambon yakni Kelurahan Nusaniwe dan Kelurahan Wainitu dimana RT-RT saat libur Lebaran diminta melakukan pemetaan lingkungan, termasuk tanah gereja, masjid, atau tanah pemerintah sehingga pendaftaran tanah lebih tertib dan tidak mungkin tumpang tindih.
"Kita tidak bisa bergerak kalau tidak dibantu pemda dan kami sudah mengirim surat ke Wali Kota agar bisa dibantu meminta desa hingga camat agar BPN melakukan sosialisasi sehingga program PTSL bisa terpenuhi sampai tahu 2025," ujar Marulak.
Kekurangan yang terjadi adalah batas administrasi wilayah tidak ada Perda, kemudian desa A punya batas di mana dengan desa lain agar tidak ada saling komplen.
Selanjutnya desa-desa adat yang ada kelurahan harus jelas supaya masyarakat di keluarahan ini melakukan pengurus sampai di lurah saja dan tidak perlu sampai ke desa induk.
Contoh di desa induk ada kelurahannya, lalu ketika dibentuk kelurahan maka Wali Kota harus berkomunikasi ke desa induk dan menanyakan siap melepaskan tanah kepada kelurahan atau tidak, baru dibentuk sebuah kelurahan.
Persoalan lain adalah masyarakat hukum adat harusnya jadi pemilik lahan ata tuan tanah yang melepaskan hak dan bukan lagi ke desa induk karena dahulunya orang tua sudah memproses pelepasan hak dari mereka.
Contoh Desa Soya ada keluarga Muskita atau Latumalea yang melepas dan tidak perlu ke desa induk sehingga biayanya tidak terlalu besar atau terjadi dua kali pembayaran. (MP-5)
from Malukupost.com https://ift.tt/2KjkI93
#beritaviral
No comments:
Post a Comment