Eko Saputra, rekannya, dan Romo Mudji Sutrisno (dok eko) |
Ambon, Malukupost.com - Eko Saputra Poceratu adalah penyair mungil namun selalu bagai bara api. Dia selalu membakar dengan puisi-puisinya. Pada Pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik, Oktober 2018, ia menghentak penonton dan peserta.
Saat itu, Eko membaca puisi di tengah lantunan lagu Pancasila Rumah Kita yang dinyanyikan Willy Sopacua, diiringi Maluku Bamboowind Orchestra. Penonton terpesona. Atas permintaan protokoler, saat itu, penampilan tersebut diulang sekali lagi.
Sebelumnya, pada Pembukaan Festival Sastra dan Rupa Kristiani di Jakarta, Agustus 2018, Eko pun membacakan puisi Hari Minggu Ramai Sekali. Ia menggetarkan, dan penonton yang hadir tersentak.
"Sebelumnya, ia duduk di belakang, bertopi yang hampir menutupi wajahnya, tak menyapa dan disapa. Tetapi setelah ia menghunjamkan puisi-puisinya ke dada pendengar, ia dicari-cari, ditunggu-tunggu untuk membacakan puisi-puisinya yang lain," tulis Ita Siregar, kurator Festival Sastra dan Rupa Kristiani 2018, pada akun facebook, 4 April lalu.
Tak dinyana, pesona puisi Hari Minggu Ramai Sekali yang menghentak itu, kini menjadi judul antologi puisi Eko, diterbitkan oleh Penerbit Bentara, akhir Mei 2019. Pada buku itu pula, bisa dibaca komentar tiga tokoh sastra dan budaya Indonesia tentang puisi-puisi Eko.
Tokoh-tokoh tersebut adalah Budayawan Mudji Sutrisno SJ, sastrawan Eka Budianta, dan Ketua Program Studi Ilmu Susastra FIB Universitas Indonesia Dr Dhita Hapsarani. Berikut ini kutipan pendapat ketiga tokoh, sebagaimana tertuang pada sampul belakang Antologi Hari Minggu Ramai Sekali:
MUDJI SUTRISNO
Dari ujung timur Ambon manise, seseorang yang dari SD sudah baca dan belajar puisi-puisi Rendra, kini telah berproses menjadi penyair muda sejati. Tengoklah puisi reflektif satirenya yang menggugat dengan kalimat-kalimat khas Eko Poceratu tentang agama, keadilan, dan uang, untuk fungsi apakah sejatinya? Kependetaan untuk yang papa yang harus dilayani atau untuk apa?
Eko telah menaruh mata air religiositas dengan keluasan samudra khas generasi “now” pada Yesus Kristus yang diimaninya sebagai Sang Peduli, penuh kasih pada kehidupan. Maka membaca puisi-puisi Poceratu serasa menemukan bahasa asyik generasinya yang telah disapa Tuhan untuk kita: agar lebih berani beriman dan berpengharapan bagi tanah air Indonesia.
Terbuktilah bahwa kata yang dheningi telah menjadi Sapa dalam Dia. Itulah doa-doa dalam puisi Eko Poceratu buat bersyukur atas kehidupan anugerah-Nya untuk kita yang bineka dan ika di tanah air Indonesia ini.
EKA BUDIANTA
Kekuatan puisi Eko Poceratu terletak pada orisinalitas topik dan bakat alamnya. Kita diajak memasuki kehidupan yang lugas, dengan penuh kesadaran. Imajinasinya khas, cerdas dan hanya bisa dinikmati melalui perspektifnya. Eko telah menggunakan kearifan lokal untuk membaca masalah-masalah politis dan sosial yang terjadi di Indonesia Timur.
Baru sekali ini saya membaca dan mendengar karya sastra Indonesia dengan konstruksi dan bahan-bahan yang orijinal dari Maluku dan Papua. Suara Eko Poceratu akan terdengar nyaring, jernih dan memikat di surga maupun neraka yang diciptakannya dengan sengaja.
DHITA HAPSARANI
Membaca puisi-puisi Eko Saputra Poceratu serasa ikut dalam arus air yang mengalir, berputar-putar, nikmat dan menghanyutkan sambil sesekali berhenti sejenak untuk mencerna apa yang baru saja dilewati.
Dengan puisinya, kita diajak menelusuri jalan pikirannya yang kadang liar bergegas membawa kita berlari dengan jantung berdegup kencang, kemudian berhenti tiba-tiba pada satu titik keheningan, merenungkan sumber kegalauannya.
Eko, penyair muda asal Maluku yang selalu berapi-api dengan kata-kata yang dirangkai dengan jari di atas kertas. Tulisannya membuat kita tak ingin berhenti bertualang dan menyesal jika bertemu kata terakhir. (malukupost.com)
from Malukupost.com http://bit.ly/2KbEiYw
#beritaviral
No comments:
Post a Comment