Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Itupun kebetulan saja, di satu Sabtu abu-abu
Di bawah tenda nasi kuning murah porsi anak kos
Ada mahasiswa pranggang singgah makan siang
Kumisnya halus baru tumbuh belum pernah dicukur
Lahap dia makan sarundeng, ikan teri, acar papinyo
Mata Mama berpindah ke buku tebal di samping piring
Mata Mama miring baca judul "Ibunda" oleh Maxim Gorki
"Anak muda, adakah dikau anak mami?" Pikir Mama
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Itupun kebetulan saja, melihat mahasiswa pranggang
Dengan badan tipis, kumis tipis, dompet tipis
Tetapi kaca matanya minus tebal dan bawa buku tebal
"Anak muda, adakah rindumu tebal pada mami?" Pikir Mama
Dengan tiga lembar uang lima ribu, dia bayar nasi
Mama memberi uang kembali, dua lembar uang Pattimura
Tetapi mahasiswa muda memberi isyarat, untuk Mama saja
Dia ambil buka tebal lalu mau pergi bawa senyum tipis
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Itupun kebetulan saja, saat Mama nekat basa-basi
"Baca buku tebal begitu, bisa berapa lama?" Tanya Mama
Anak muda yang mau tinggalkan tenda nasi kuning kaget
Langkahnya terhenti lalu dia tatap mata Mama yang lugu
"Jika baca tak henti, cukup semalam," jawab dia
"Kalau Mama, mungkin perlu tiga purnama," ujar Mama
Mahasiswa muda mengulurkan buku, dan Mama terperanjat
"Mama baca cicil-cicil, nanti juga tamat," kata dia lagi
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Itupun kebetulan saja, karena dipinjamkan begitu saja
Mama baca sambil parut kunyit, remas santan, racik rempah
Mama sayang Ibunda, membayangkan dirinya jadi Ibunda
Imajinasi Mama terbawa ribuan kilometer ke negeri komunis
"Syukur, bagi surga Pancasila Indonesia," ujar Mama
Sambil mama masak nasi kuning, air mata tumpah di kunyit
Mama bayangkan Ibunda, Mama bayangkan sosok Maxim Gorki
Mama bayangkan mahasiswa kumis tipis pemilik buku tebal
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Itupun kebetulan saja, tagal nekat basa-basi sekena saja
Sudah sampai empat kali Mama baca ulang buku tebal itu
Tidak terhitung berapa butir air mata pernah tumpah
Mama heran, anak muda itu tidak pernah kembali ke tenda
Maka hari-hari Mama adalah nasi kuning dan seribu rindu
Mama bayangkan dirinya Pelagia Nilovna, sang Ibunda
Siapa datang makan, bagai suami cukardeleng Michail Vlasov
Dan mata muda yang belum kembali, oh Pavel Michailovitsj
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Itupun kebetulan saja, atau jangan-jangan ini jalan Tuhan
Anak muda, mungkin belum matang gonad, belum matang otak
Tetapi siapa tahu, dia matang sejarah, matang kebudayaan
Atau semacam nabi literasi milenial pembawa kitab sastra
Entah, tetapi kini Mama tak sekadar memasak nasi kuning
Mama mulai pikir siapa petani kunyit, Siapa tanam jahe
Siapa tanam padi, siapa tanam kelapa, siapa tangkap ikan
Di manakah mereka menanam, di manakah mereka melaut?
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Itupun kebetulan saja, atau jangan-jangan ini jalan Tuhan
Sambil dekap buku di dada, Mama sayang kertas dan huruf
Mama bayangkan kitab-kitab yang lahir dari wahyu sastra
Berapa banyak manusia sejarah dengan gagasan dan kenangan
Entah, tetapi kini Mama tak sekadar romantis dalam lagu
Tak cukup tepuk dada bangga bernafas di negeri rampa-rampa
Tanpa bangun subuh pun, matahari tetap muncul dari Seram Timur
Hidup ternyata tak cukup sekadar goyang kaka ondos dan swafoto
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Sepertinya, ini sudah bukan kebetulan, melainkan bisikan zaman
Maka Mama masak nasi kuning lebih tebal, iris ikan lebih tebal
Santan lebih kental, sambal lebih pedas, sayur lebih hijau
Mama atur anyaman lidi-lidi enau beralas daun-daun pisang
"Silakan timba sendiri, duhai kaum Pavel Michailovitsj!"
Angin September bertiup dari Merauke sampai Sabang
Senyum pala dan cengkih berbunga di bibir Mama
Manakala kaum "Sorak-Sorak Bergembira" kini makan di tenda
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Tidak percuma beri nasi cuma-cuma bagi lima ribu mahasiswa demonstran
Itu pun masih ada sisa dua belas bakul nasi kuning dan lauk
"Anak-anak yang kalian sebut generasi merunduk itulah mereka
Orasi kebenaran keadilan menyebut Jurgen Habermas, bukan Pinokio
Inilah mereka, anak kolang-kaling, bukan kaleng-kaleng
Kalian sebut mereka mau seret bola Bumi ke dalam kopi luwak?
Terjebak di dalam ular-tangga, ludo, dan pubg?
Ternyata kalianlah seret republik ke selangkangan," Mama maki
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Dari Das Kapital, Gema Pulau Sagu, dan Tana Putus Pusa
Mama baca Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pusaka Belanda
Mama baca Noli Me Tangere, jangan sentuh aku
Mama baca Tuah Tara Noa Ate, dan Kita Halmahera
Saat nasi kuning untuk lima ribu orang sudah matang
Mama ajari mahasiswa cara timba makan agar badan sehat jiwa afiat
"Nasi segunung, susun lauk, siram kuah, biarkan longsor
Asal jangan bikin longsor dada pertiwi, dan hak anak bangsa!"
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Mama mau ke perpustakaan agar pinjam Hikayat Tanah Hitu
Tetapi televisi siar wajah orator belia yang berteriak:
"Bayanullah, Boheyat, Deyalo, Tabariji, Tarawesi, Almansyur, Nuku,
Khairun, Babullah, Telukabessy, Pattimura, AY Patty, AM Sangadji,
Sadsuitubun, Alfred Mirulewan, Ridwan Salamun, belum cukup juga?
Ingat! Tidak ada anak kapitan sepedih Martha Tijahahu!
Tidak ada bhayangkari sepedih Mathilda Batlejery!
Tidak ada duka perempuan sedalam Boki Rainha Nyai Cili Nukila!"
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Reporter televisi beritakan orator belia itu dipukul aparat
Wajahnya bengkak, lengannya bengkok, punggungnya bungkuk
Mama lompat tinggi melewati nasi kuning, ikan goreng
Acar, sarundeng, sambal terasi, bunga pepaya, bunga ganemu
Mama berlari selaju Alvina Tehupeiory dan Ema Tahapary
"Mana anakku Pavel Michailovitsj?" Hardik Mama di pos
Kepalan tangan kiri bau kunyit, dikibarkan ke udara
"Dia di rumah sakit, pergi saja ke unit gawat darurat"
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Satpam rumah sakit, minggir! Manteri dan suster, minggir!
Dokter jaga kaget lihat Mama dengan mata merah saga
"Mana anakku Pavel Michailovitsj?" Hardik Mama di ruang UGD
Dokter menyerah, dia antar Mama yang masih genggam daun salam
Mahasiswa kumis tipis itu tiada sadar diri, wajah sehancur terasi
Badannya bagai lengkuas dikikis, selang bagai laksa raksana
"Dia kritis. Berdoalah, Mama, hanya mujizat mampu tolong dia"
Dokter berkata begitu, lalu Mama beri isyarat agar dokter pergi!
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Mama raba dada anak idiologis itu, ada denyut Gamalama Lewerani
Mama buka mata sang anak, ada Telaga Lina, Danau Rana, dan Tolire
"Republik buruk ini, butuh seribu anak seperti engkau, anakku!"
Lalu Mama lepas selang infus jahanam, selang darah juga
Mama lepas seluruh benang yang bungkus tubuh anak muda itu
"Di republik buruk ini, hukum tidak tegak, kebenaran tidak tegak
Keadilan tidak tegak, tetapi kau harus tetap tegak, o anak Maleo"
Maka Mama melepas seluruh busana di tubuhnya sendiri, ini darurat!
Baru kali ini, Mama jatuh hati pada buku tebal
Satpam, manteri, suster, bidan, dokter, semuanya berkumpul
Mereka keliling ranjang, ketika semua sudah selesai
Pavel Michailovitsj terbujur telanjang di atas tubuh Mama
Dia baru bangkit, bungkus badan, tak lupa jaket almamater
Dokter pindahkan Mama ke ruang kebidanan untuk periksa
"Kandungan Mama penuh anak-anak, bukan cebong, bukan kampret," kata dokter
Mama senyum pala, Pavel Michailovits berdiri di samping
"Kau akan jadi ayah! Kata Mama, sambil peluk buku tebal di dada
Katedral, 25 September 2019
Pada Pesta Santo Gerardus dari Hungaria,
Santo Vinsensius Maria Strambi, dan Santo Pasifikus
from Malukupost.com https://ift.tt/2kZfUzj
#beritaviral
No comments:
Post a Comment