Aksi Barisan Konsolidasi untuk Hari Anti Tambang di depan Kantor PT Antam Ternate (foto: adlun fiqri) |
Laporan Rudi Fofid-Ambon
Ambon, Malukupost - Eksploitasi intensif terhadap pulau-pulau kecil membuat masyarakat dan lingkungan di Maluku Utara kian sekarat. Kasus perampasan lahan, pencemaran air, hilangnya wilayah tangkap nelayan, kriminalisasi dan intimidasi warga, dan deforestasi hutan sudah lama berlangsung.
Status sekarat di Maluku Utara tersebut mendorong sekitar 30 mahasiswa aktivis dan pegiat lingkungan yang tergabung dalam Barisan Konsolidasi untuk Hari Anti Tambang. Mereka beraksi di Kantor Cabang PT Aneka Tambang (Antam), Dufa-Dufa, Ternate, Rabu (29/5) .
Aksi bertepatan dengan peringatan Hari Anti Tambang (Hatam) 29 Mei 2019, sengaja dilakukan di depan kantor PT Antam yang dinilai terlibat dalam pengrusakan ekologi di Maluku Utara. Peserta aksi hanya butuh 30 menit, mulai pukul 14.30 sampai 14.00 WIT. Mereka melakukan aksi diam, membagikan selebaran kepada masyarakat, antas membubarkan diri secara tertib
Dalam siaran pers yang diterima Media Online Maluku Post dari aktivis Adlun Fiqri di Ternate, barisan aktivis memaparkan berbagai fakta kehancuran lingkungan.
Menurut barisan aktivis ini, dari 395 pulau seluas 3,1 juta hektare, terdapat 313 ijin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi lebih 1 juta hektare. Konsesi pertambangan berada di pulau besar maupun kecil yakni Pulau Halmahera, Pakal, Mabuli, Gee, Gebe, dan Pulau Obi.
``Pulau-pulau berpenghuni seperti Gebe, Obi, Taliabu, Halmahera maupun tak berpenghuni adalah contoh nyata betapa eksploitasi habis-habisan selama ini telah membuat pulau-pulau itu sekarat,`` papar Adlun Fiqri dkk dalam siaran pers.
Barisan aktivis melukiskan bahwa penambangan telah mengupas vegetasi dan membongkar isi perut pulau, sehingga kerusakan tak hanya di daratan, tetapi juga wilayah laut yang rentan tercemar material tambang.
Aktivis mengutip laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. Antam turut berkontribusi dalam pengrusakan ekologi di Maluku Utara, seperti terjadi di Pulau Gebe, Pulau Gee, dan Pulau Pakal.
"Kami berharap, pemerintah pusat dan daerah menghentikan aktivitas tambang dan mencabut seluruh izin pertambangan, yang terbukti menghancurkan ruang hidup masyarakat,`` desak para aktivis.
Pemerintah didesak pula mendukung kemandirian masyarakat pesisir dan pulau melalui penyelamatan lahan, air, hutan, dan laut. Hal mendesak antara lain, perlunya produk hukum yang melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk melindungi wilayah pesisir dan pulau kecil dari ekspansi industri ekstraktif.
Selain itu, para aktivis meminta pemerintah segera melakukan penegakan hukum yang tegas dan terbuka atas seluruh pelanggaran yang dilakukan korprorasi selama ini.
Mereka meminta revisi atas Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang tidak berpihak pada penyelamatan ruang hidup masyarakat.
Aktivis mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) turun tangan mengatasi persoalan keterancaman pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, yang terus tergerus oleh laju ekspansi industri ekstraktif, karena pemerintah daerah dan Kementerian ESDM di Jakarta turut andil di dalamnya. (malukupost)
from Malukupost.com http://bit.ly/2wphaxE
#beritaviral
No comments:
Post a Comment