MOKI, JAKARTA-Momentum penetapan Upah minimum Provinsi (UMP) secara serentak 1 November 2018. "CABUT PP NO. 78 TAHUN 2015 DAN BERIKAN UPAH BURUH SESUAI STANDAR KEBUTUHAN HIDUP".
Buruh Indonesia terus ditindas oleh seluruh kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang mengabdi pada kapitalis monopoli asing, khususnya pimpinan imperialis Amerika Serikat (AS). Aturan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai menjadi senjata pemerintah menyerang aspirasi demokratis buruh atas upah, di sisi lain, menjadi pemaksa pemerintah daerah agar taat menjalankannya demi menyukseskan Program Strategis Nasional yang tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) sejak tahun 2015.
Kebijakan pengupahan yang tertuang pada jilid IV PKE sesungguhnya didasarkan dikte imperialis AS dalam memudahkan ekspor kapital, berupa utang dan investasi asing, masuk ke Indonesia dan pengerukan profit (laba) sebesar-besarnya. Penggunaan formula penentuan upah yang diikat pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) dan inflasi berarti mengikat kaki buruh dan menggantungkan hidup buruh pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak di bawah kontrol negara atau pemerintah RI.
Regulasi tersebut, secara langsung dan tak langsung, memaksa buruh mengemis dan mengiba kepada kapitalis monopoli agar bersedia melakukan investasi langsung di Indonesia sebagai faktor utama yang menggerakkan perekonomian nasional. Buruh juga dipaksa mengantungkan inflasi sebagai pendongkrak kenaikan upah, padahal inflasi dikontrol oleh imperialis atas kenaikan harga barang, impor barang komoditas impor yakni bahan baku, nilai tukar dollar AS atas rupiah, dan penghapusan atas subsidi kebutuhan dasar rakyat.
Penetapan kenaikan upah tahun 2019 sebesar 8,03 persen yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi 5,15 persen dan dan inflasi 2,88 persen menjelaskan ketergantungan pemerintah terhadap imperialis. Tak hanya itu, Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Indonesia mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 240 tanggal 15 Oktober 2018 tentang Penyampaian Data Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 sebagai acuan bagi kepala daerah (provinsi, kabupaten, dan kota). Dalam surat tersebut mengatur kewajiban kepala daerah dan sanksi ( teguran sampai pemecatan) jika tidak menjalankan program strategis nasional.
Penerapan PP No. 78 telah menjadikan nilai riil upah buruh selalu rendah dan defisit dengan nilai nominal upahnya. Di Jakarta, rata-rata defisit upah riil buruh terhadap UMK DKI (Upah Nominal) sebesar 20,75 persen, dan upah riil defisit 48 persen jika dibandingkan PDB. Keadaan ini menjadikan penghidupan buruh semakin menurun.
Pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya tidak mendasarkan tingkat kebutuhan hidup minimum sebagai dasar penetapan upah (living wage). Keluarga buruh di Jakarta (dengan satu anak) tentunya akan semakin terkuras tenaganya dengan pekerjaan lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum sebesar Rp 6,5 sampai Rp 7 juta per bulan pada tahun 2018. Negara sudah seharusnya mendasarkan pada tingkat kebutuhan hidup minimum yang menjamin hak-hak demokratis buruh yakni: ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kebutuhan hidup minimum tidak sama dengan konsep KHL versi pemerintah yang mengabaikan keadaan kongkret kebutuhan hidup buruh.
Secara politik, PP 78 tahun 2015 telah memberangus hak-hak demokratis buruh yang menjadikan penderitaan semakin berat dan panjang akibat penerapan upah rendah, menghancurkan peranan serikat buruh dan dewan pengupahan tingkat pusat hingga kota/kabupaten. Di sisi lain, aturan pemerintah menjadi bentuk penindasan pemerintah pusat terhadap pemerintah tingkat kota/kabupaten dan provinsi yang telah dipilih secara langsung melalui Pilkada. PP 78 Tahun 2015 merupakan peraturan upah terburuk yang paling menindas klas buruh dalam sejarah regulasi perburuhan Indonesia.
Atas keadaan tersebut kami Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyampaikan sikap dan tuntutan, Cabut PP No. 78 Tahun 2015 sebagai dasar penetapan upah; dan Cabut Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja RI No. 240 yang berisi kewajiban seluruh kepala daerah menjalankan PP No. 78 dan sanksi bagi kepala daerah! Secara khusus, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menggunakan PP No. 78 dan Surat Edaran No. 240 Kemenakertrans yang buruk tersebut sebagai dasar penetapan upah demi perbaikan upah buruh dan pendapatan rakyat Jakarta!
Tetapkan dasar upah minimum buruh berdasarkan tingkat kebutuhan hidup minimum keluarga buruh yang memenuhi hak-hak demokratisnya pada ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Secara khusus, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan tingkat kebutuhan hidup minimum sebagai dasar penetapan upah minimum!
Pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta harus menurunkan harga kebutuhan dasar rakyat (sembako, BBM, listrik, air, komunikasi, transportasi, kesehatan, dan pendidikan) secara drastis agar dapat memperbaiki nilai riil upah buruh dan memangkas defisit upah. Kenaikan angka nominal upah buruh tidak akan memperbaiki nilai riil upah selama harga kebutuhan hidup terus membungbung tinggi.
Pemerintah Jokowi harus membebaskan buruh, tani, dan rakyat miskin dari kewajiban pajak dan pungutan yang memberatkan! Kenaikan upah buruh tidak berarti apa-apa jika perampasan upah melalui kenaikan pajak yang memberatkan menjadikan lebarnya defisit upah. Secara khusus, FPR Jabodetabek mendesak agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar membebaskan segera buruh dan rakyat miskin dari pajak penghasilan dan seluruh pajak yang memberatkan.
Kami juga menyerukan kepada seluruh buruh dan rakyat semakin memperkuat persatuan dan memperhebat perjuangan melawan politik upah murah pemerintah Jokowi-JK, serta membangun kekuatan serikat buruh sejati seluas-luasnya agar memperkuat perjuangan melawan seluruh kebijakan dan tindasan negara yang merugikan rakyat Indonesia.(Marsan)
Buruh Indonesia terus ditindas oleh seluruh kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang mengabdi pada kapitalis monopoli asing, khususnya pimpinan imperialis Amerika Serikat (AS). Aturan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai menjadi senjata pemerintah menyerang aspirasi demokratis buruh atas upah, di sisi lain, menjadi pemaksa pemerintah daerah agar taat menjalankannya demi menyukseskan Program Strategis Nasional yang tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) sejak tahun 2015.
Kebijakan pengupahan yang tertuang pada jilid IV PKE sesungguhnya didasarkan dikte imperialis AS dalam memudahkan ekspor kapital, berupa utang dan investasi asing, masuk ke Indonesia dan pengerukan profit (laba) sebesar-besarnya. Penggunaan formula penentuan upah yang diikat pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) dan inflasi berarti mengikat kaki buruh dan menggantungkan hidup buruh pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak di bawah kontrol negara atau pemerintah RI.
Regulasi tersebut, secara langsung dan tak langsung, memaksa buruh mengemis dan mengiba kepada kapitalis monopoli agar bersedia melakukan investasi langsung di Indonesia sebagai faktor utama yang menggerakkan perekonomian nasional. Buruh juga dipaksa mengantungkan inflasi sebagai pendongkrak kenaikan upah, padahal inflasi dikontrol oleh imperialis atas kenaikan harga barang, impor barang komoditas impor yakni bahan baku, nilai tukar dollar AS atas rupiah, dan penghapusan atas subsidi kebutuhan dasar rakyat.
Penetapan kenaikan upah tahun 2019 sebesar 8,03 persen yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi 5,15 persen dan dan inflasi 2,88 persen menjelaskan ketergantungan pemerintah terhadap imperialis. Tak hanya itu, Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Indonesia mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 240 tanggal 15 Oktober 2018 tentang Penyampaian Data Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 sebagai acuan bagi kepala daerah (provinsi, kabupaten, dan kota). Dalam surat tersebut mengatur kewajiban kepala daerah dan sanksi ( teguran sampai pemecatan) jika tidak menjalankan program strategis nasional.
Penerapan PP No. 78 telah menjadikan nilai riil upah buruh selalu rendah dan defisit dengan nilai nominal upahnya. Di Jakarta, rata-rata defisit upah riil buruh terhadap UMK DKI (Upah Nominal) sebesar 20,75 persen, dan upah riil defisit 48 persen jika dibandingkan PDB. Keadaan ini menjadikan penghidupan buruh semakin menurun.
Pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya tidak mendasarkan tingkat kebutuhan hidup minimum sebagai dasar penetapan upah (living wage). Keluarga buruh di Jakarta (dengan satu anak) tentunya akan semakin terkuras tenaganya dengan pekerjaan lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum sebesar Rp 6,5 sampai Rp 7 juta per bulan pada tahun 2018. Negara sudah seharusnya mendasarkan pada tingkat kebutuhan hidup minimum yang menjamin hak-hak demokratis buruh yakni: ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kebutuhan hidup minimum tidak sama dengan konsep KHL versi pemerintah yang mengabaikan keadaan kongkret kebutuhan hidup buruh.
Secara politik, PP 78 tahun 2015 telah memberangus hak-hak demokratis buruh yang menjadikan penderitaan semakin berat dan panjang akibat penerapan upah rendah, menghancurkan peranan serikat buruh dan dewan pengupahan tingkat pusat hingga kota/kabupaten. Di sisi lain, aturan pemerintah menjadi bentuk penindasan pemerintah pusat terhadap pemerintah tingkat kota/kabupaten dan provinsi yang telah dipilih secara langsung melalui Pilkada. PP 78 Tahun 2015 merupakan peraturan upah terburuk yang paling menindas klas buruh dalam sejarah regulasi perburuhan Indonesia.
Atas keadaan tersebut kami Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyampaikan sikap dan tuntutan, Cabut PP No. 78 Tahun 2015 sebagai dasar penetapan upah; dan Cabut Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja RI No. 240 yang berisi kewajiban seluruh kepala daerah menjalankan PP No. 78 dan sanksi bagi kepala daerah! Secara khusus, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menggunakan PP No. 78 dan Surat Edaran No. 240 Kemenakertrans yang buruk tersebut sebagai dasar penetapan upah demi perbaikan upah buruh dan pendapatan rakyat Jakarta!
Tetapkan dasar upah minimum buruh berdasarkan tingkat kebutuhan hidup minimum keluarga buruh yang memenuhi hak-hak demokratisnya pada ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Secara khusus, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan tingkat kebutuhan hidup minimum sebagai dasar penetapan upah minimum!
Pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta harus menurunkan harga kebutuhan dasar rakyat (sembako, BBM, listrik, air, komunikasi, transportasi, kesehatan, dan pendidikan) secara drastis agar dapat memperbaiki nilai riil upah buruh dan memangkas defisit upah. Kenaikan angka nominal upah buruh tidak akan memperbaiki nilai riil upah selama harga kebutuhan hidup terus membungbung tinggi.
Pemerintah Jokowi harus membebaskan buruh, tani, dan rakyat miskin dari kewajiban pajak dan pungutan yang memberatkan! Kenaikan upah buruh tidak berarti apa-apa jika perampasan upah melalui kenaikan pajak yang memberatkan menjadikan lebarnya defisit upah. Secara khusus, FPR Jabodetabek mendesak agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar membebaskan segera buruh dan rakyat miskin dari pajak penghasilan dan seluruh pajak yang memberatkan.
Kami juga menyerukan kepada seluruh buruh dan rakyat semakin memperkuat persatuan dan memperhebat perjuangan melawan politik upah murah pemerintah Jokowi-JK, serta membangun kekuatan serikat buruh sejati seluas-luasnya agar memperkuat perjuangan melawan seluruh kebijakan dan tindasan negara yang merugikan rakyat Indonesia.(Marsan)
from KabarInvestigasi I Portal Of Investigation https://ift.tt/2zisUD3
Berita Viral
No comments:
Post a Comment