Konteks kedua, kata Suhadi, terkait kode etik di MA. Kode etik di MA dan badan peradilan di bawahnya dibuat MA dan Komisi Yudisial (KY) sesuai amanat undang-undang.Juru Bicara MA itu juga memaparkan kode etik tertera dalam Undang-Undang (UU) MA Nomor 3 Tahun 2009 dan UU KY Nomor 18 Tahun 2011 soal pedoman pengawasan hakim berdasarkan kode etik yang dibuat MA dan KY. Selain itu, terdapat keputusan bersama pada 2009 yang kemudian disempurnakan lahirnya UU Nomor 18 tahun 2011.“Oleh sebab itu, kalau masalah konteks teknis yuridisnya, apakah yang bersangkutan terlibat masalah kriminal atau tidak itu kewenangan penyelidik, apakah masalah melanggar kode etik, itu kewenangan MA dan KY,” ujar Suhadi.Selanjutnya Suhadi menjelaskan, bahwa MA juga telah menerjunkan tim pengawas ke PN Medan begitu kasus suap hakim tindak pidana korupsi (tipikor) terkuak. Tim turut mencari bukti dugaan pelanggaran para hakim.
“Tentu ini butuh proses. Terutama yang bersangkutan dinyatakan tidak cukup bukti, tentu tim itu harus menemui personel-personel yang dibawa ke Jakarta. Apakah mereka dipanggil ke Medan, tempat tim itu atau nanti didengar keterangannya di Jakarta. Oleh sebab itu, tidak akan lama saya kira, 1-2 hari sudah MA akan menetapkan tindak lanjut kondisi seperti itu,” tegas Suhadi. Sejatinya, Marsudin Nainggolan sudah dipromosikan menjadi Hakim Tinggi di Denpasar, Bali. Sementara itu, Wahyu dipromosikan jadi ketua PN Serang, Banten. Namun, promosi ditunda akibat imbas operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkup PN Medan.
KPK menangkap tangan sembilan orang terkait kasus dugaan jual beli perkara di PN Medan. Masrudin dan Wahyu termasuk dalam sembilan orang yang dicokok KPK dalam operasi senyap itu.Namun, dalam pengembangan, penyidik hanya menetapkan empat orang tersangka, yakni Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan Merry Purba, panitera pengganti Helpandi, pemilik PT Erni Putra Terari Tamin Sukardi, dan orang kepercayaan Tamin bernama Hadi Setiawan.
Hakim Merry diduga menerima duit suap total 280 ribu Dollar Singapura (SGD ) atau setara Rp 3 miliar. Duit suap ini diduga untuk memengaruhi keputusan majelis hakim dalam perkara korupsi lahan.Tamin diketahui menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Tamin menjual 74 hektare dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp 236,2 miliar dan baru dibayar Rp 132,4 miliar. Merry adalah hakim yang berbeda pendapat dibanding hakim lainnya atau diistilahkan “dissenting opinion”.
Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Tamin divonis pidana enam tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 132 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar.Atas perbuatannya, hakim Merry dan Helpandi selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Tamin dan Hadi selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 (1) a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. ( Hans )
from TOPINFORMASI.COM https://ift.tt/2PfMqqm
Berita Viral
No comments:
Post a Comment